BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
GERD
(Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang terdiagnosis
oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat
seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks
gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi
secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak
ditemukan di negara Barat. Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi
dewasa menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu
keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak
ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena
pada umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan
antasida. Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan
endoskopi dan berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter
(Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak
geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di Negara Barat. Trend prevalensi
GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35%
(2003). Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesi, RSCM
menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5
tahun. Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang
GERD pada populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya
sekitar 1%, sedangkan di Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat
perbedaan insidensi yang begitu jelas, kecuali jika dihubungkan dengan
kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux disease lebih terlihat pada
wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi faktor utama dalam
perkembangan PRG, namun Barrett’s esophagus lebih sering terjadi pada
laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari
spektrum gangguan yang terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan
gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus,
dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan hubungan antara
beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada
pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.
Tujuan
1. Mengetahui dan
memahami definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
penunjang, terapi, dan komplikasi dari GERD.
2.
Mengetahui dan
memahami asuhan keperawatan pada pasien GERD.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal
Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala
yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau
komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi
tegak sewaktu habis makan. Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya
kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus
segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan
refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi
berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung
untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus
akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa
esofagus (Susanto, 2002).
B.
ETIOLOGI
Penyebab
dari PRGE/GERD adalah kompleks. Mungkin ada berbagai penyebab-penyebab, dan
penyebab-penyebab yang berbeda mungkin bekerja pada individu-individu yang
berbeda, atau bahkan pada individu yang sama pada waktu-waktu yang berbeda.
Sejumlah kecil pasien-pasien dengan PRGE/GERD menghasilkan jumlah-jumlah asam
yang besarnya abnormal, namun ini adalah tidak umum dan bukan faktor yang
berkontribusi pada mayoritas yang sangat luas dari pasien-pasien. Faktor-faktor
yang berkontribusi pada PRGE/GERD adalah sfingter esofagus bagian bawah, hiatal
hernias, kontraksi-kontraksi esofagus, dan pengosongan dari lambung.
C.
TANDA DAN GEJALA
1.
Dewasa
Gejala yang
paling umum-GERD adalah:
a.
Mulas
b.
Regurgitasi
c.
Kesulitan
menelan ( disfagia )
Kurang, gejala
umum, termasuk:
a.
Nyeri
dengan menelan ( odynophagia )
b.
Peningkatan
air liur (rasa ingin meludah)
c.
Mual
d.
Nyeri
dada
GERD kadang-kadang menyebabkan luka pada kerongkongan. Cedera ini
mungkin termasuk:
a.
Refluks
esofagitis - nekrosis epitel esofagus menyebabkan borok di dekat
persimpangan dari lambung dan
kerongkongan.
b.
Terserang
striktur - penyempitan terus-menerus dari esophagus yang disebabkan oleh
refluks akibat peradangan.
c.
Barrett
esophagus - usus metaplasia . (perubahan sel epitel skuamosa dari epitel
kolumnar ke usus) dari esofagus distal.
d.
Terserang
adenokarsinoma -. bentuk yang jarang dari kanker
Beberapa gejala atipikal lainnya yang berhubungan dengan GERD,
tetapi ada bukti yang baik untuk penyebab hanya ketika mereka disertai dengan cedera
kerongkongan. Gejala-gejala ini:
a.
Kronis
batuk
b.
Laringitis
(suara serak, tenggorokan kliring)
c.
Asma
d.
Erosi
enamel gigi
e.
Hipersensitivitas
dentin
f.
Sinusitis
dan rusak gigi
g.
Sakit
tekak
Beberapa orang telah mengusulkan bahwa gejala seperti sinusitis ,
infeksi telinga berulang, dan fibrosis paru idiopatik adalah karena GERD, namun
peran penyebab belum ditetapkan.
2.
Anak-anak
GERD mungkin
sulit untuk mendeteksi di bayi dan anak-anak , karena mereka tidak bisa
menggambarkan apa yang mereka rasakan dan indikator harus diperhatikan. Gejala
dapat bervariasi dari gejala khas orang dewasa. GERD pada anak-anak dapat
menyebabkan berulang muntah , mudah
meludah atas, batuk , dan masalah pernapasan lainnya seperti tersengal-sengal,
menangis kalau dihibur, menolak makan, menangis kalau diberi makanan dan
kemudian menarik botol atau payudara hanya menangis, begitu lagi, kegagalan
untuk menambah berat badan yang memadai, bau mulut, dan sendawa atau bersendawa
juga umum. Anak-anak mungkin memiliki satu gejala atau banyak, tidak ada gejala
tunggal bersifat universal pada semua anak dengan GERD.
Diperkirakan
bahwa dari sekitar 4 juta bayi lahir di Amerika Serikat setiap tahun, hingga
35% dari mereka mungkin memiliki kesulitan dengan refluks dalam beberapa bulan
pertama kehidupan mereka, yang dikenal sebagai meludah. Salah satu teori untuk ini adalah yang “teori
trimester ke-4″ yang mencatat bahwa kebanyakan hewan dilahirkan dengan
mobilitas yang signifikan, namun manusia relatif tak berdaya saat kelahiran,
dan menunjukkan bahwa mungkin telah pernah menjadi trimester keempat, namun
anak-anak mulai lahir sebelumnya, evolusi, untuk mengakomodasi pengembangan
kepala yang lebih besar dan otak dan memungkinkan mereka untuk melewati jalan
lahir dan ini membuat mereka dengan sistem pencernaan sebagian belum
berkembang.
Kebanyakan anak
akan mengatasi refluks mereka dengan ulang tahun pertama mereka. Namun,
sejumlah kecil namun signifikan dari mereka tidak akan mengatasi kondisi
tersebut. Hal ini terutama berlaku di mana ada riwayat keluarga hadir GERD.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona
tekanan tinggi (high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower
esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan
kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik
dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada
atau sangat rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD
diakibatkan oleh gangguan motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah.
Pada bagian ujung ini terdapat otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang
fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari
atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot
tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus
balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun
sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan
antara faktor defensif dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan
asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a.
Pemisah
antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus
LES. Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada
saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD
ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan
tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin
rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik), dan
faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
b.
Bersihan asam
dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari
esophagus adalah gravitasi, peristaltik, eksrkresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung
dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c.
Ketahanan
epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak
memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan
ephitelial esophagus terdiri dari :
1) Membran
sel
2) Batas
intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
3) Aliran
darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
4) Sel-sel
esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan
isinya, volume, lamanya, dan hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya
refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi atau melemah oleh
peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara esofagus
dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika
isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas
berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik
akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke
faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).
D.
Patofisiologi/Pathwas
GERD disebabkan
oleh kegagalan kardia . Pada pasien sehat,
sudut di mana kerongkongan memasuki perut menciptakan katup yang
mencegah empedu duodenum, enzim, dan asam perut dari perjalanan kembali ke
kerongkongan yang mana mereka dapat menyebabkan pembakaran dan radang jaringan
kerongkongan sensitif. Faktor-faktor yang dapat berkontribusi untuk GERD:
a.
Hernia
hiatus , yang meningkatkan kemungkinan GERD karena faktor mekanik dan
motilitas.
b.
Obesitas
: Peningkatan indeks massa tubuh berhubungan dengan GERD yang lebih parah.
Dalam serangkaian besar dari 2000 pasien dengan penyakit refluks bergejala,
telah menunjukkan bahwa 13% dari perubahan dalam paparan asam esofagus
disebabkan perubahan indeks massa tubuh.
c.
Zollinger-Ellison
syndrome , yang dapat hadir dengan keasaman lambung meningkat karena produksi
gastrin.
d.
Hypercalcemia
, yang dapat meningkatkan produksi gastrin, yang menyebabkan keasaman
meningkat.
e.
Scleroderma
dan sistemik sclerosis , yang dapat fitur dismotilitas esofagus.
f.
Penggunaan
obat-obatan seperti prednisolon .
g.
Visceroptosis
atau Glénard sindrom, di mana perut telah tenggelam di perut mengacaukan
sekresi motilitas dan asam lambung.
GERD telah
dikaitkan dengan berbagai keluhan pernapasan dan laring seperti radang
tenggorokan kronis, batuk , fibrosis paru , sakit telinga, dan asma, bahkan
ketika tidak tampak secara klinis. Ini manifestasi atipikal GERD sering disebut
sebagai refluks laryngopharyngeal atau sebagai penyakit refluks extraesophageal
(EERD). Faktor-faktor yang telah dikaitkan dengan GERD, tetapi tidak
meyakinkan:
a.
Obstructive
sleep apnea
b.
Batu
empedu , yang dapat menghambat aliran empedu ke dalam Duodenum , yang dapat
mempengaruhi kemampuan untuk menetralisirasam lambung
Pada tahun
1999, tinjauan studi yang ada menemukan bahwa rata-rata, 40% dari pasien GERD
juga memiliki H. pylori infeksi.
Pemberantasan H. pylori dapat menyebabkan peningkatan sekresi asam, yang mengarah ke pertanyaan apakah H. pylori
terinfeksi pasien GERD adalah setiap yang berbeda daripada non pasien
terinfeksi GERD. Sebuah double-blind. Penelitian yang dilaporkan pada tahun
2004, tidak menemukan perbedaan klinis yang signifikan antara kedua jenis
pasien dengan memperhatikan jumlah yang subjektif atau objektif dari keparahan
penyakit.
E.
KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara
lain :
1.
Esofagus barret,
yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2.
Esofagitis
ulseratif
3.
Perdarahan
4.
Striktur
esofagus
5.
Aspirasi. (Asroel,
2002).
F.
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
1.
Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama
yang dipilih oleh evaluasi pasien dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa
PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang dapat dilihat secara
mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi. Endoskopi menetapkan tempat
asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi
endoskopi).
2.
Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Di samping itu
hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium secara spontan pada
pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat
berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3.
Tes Provokatif
a.
Tes Perfusi Asam
(Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes
Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada
asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b.
Tes Edrofonium. Tes
farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan
dosis 80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang
dapat dilihat dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk
memastikan nyeri dada asal esofagus.
4.
Pengukuran pH
dan tekanan esofagus
Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat
memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap
diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan hubungan nyeri dada dengan RGE
adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus selama 24 jam pH
intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman pasien dapat
memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara
serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut
dianggap sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.
5.
Tes
Gastro-Esophageal Scintigraphy
Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk
penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non invasif (Djajapranata, 2001).
6.
Pemeriksaaan
Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa
penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi, dan striktur.
7.
Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2
minggu pada pasien yang diduga menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan
hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai sensitivitas 75%.
8.
Manometri
esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah
pemberian terapi pada pasien NERD. Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan
peristaltik/motilitas esofagus.
9.
Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia,
displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk memastikan NERD (Yusuf, 2009).
G.
Penatalaksanaan
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan
gejala-gejala pasien, mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks
esofageal, mempercepat penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah
berkembangnya komplikasi. Terapi diarahkan pada peningkatan mekanisme
pertahanan yang mencegah refluks dan atau mengurangi faktor-faktor yang
memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi
Gaya Hidup
a.
Tidak merokok
b.
Tempat tidur
bagian kepala ditinggikan
c.
Tidak minum
alkohol
d. Diet
rendah lemak
e.
Hindari
mengangkat barang berat
f.
Penurunan berat
badan pada pasien gemuk
g.
Jangan makan
terlalu kenyang
h.
Hindari pakaian
yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi
Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya
adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi
adalah dengan memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari jenis terapi
ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas hidup, dan
mengurangi reflux.
3.
Terapi medika
mentosa.
Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk
terapi ini adalah supresi pengeluaran asam lambung. Ada dua pendekatan yang
biasa dilakukan pada terapi medika mentosa:
a.
Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang
kurang kuat menekan sekresi asam seperti antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin,
ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan prokinetik
(metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam
yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b.
Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan
setelah berhasil lanjutkan dengan supresi asam yang lebih lemah untuk
pemeliharaan.
4.
Terapi terhadap
Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan
striktur. Bila terjadi rangsangan asam lambung yang kronik dapat terjadi
perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi kolumnar yang metaplastik
sebagai esophagus barret’s (premaligna) dan dapat menjadi karsinoma barret’s
esophagus
a. Striktur
esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter
strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat dilakukan dilatasi busi, bila gagal
juga lakukanlah operasi.
b.
Barret’s
esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang
dilakukan adalah terapi bedah (fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga
dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan energy radiofrekuensi, plikasi
gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara ini masih dalam
penelitian. (Djajapranata, 2001).
DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu
Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Universitas Sumatera Utara : Fakultas Kedoketeran Bagian
Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011.
Penatalaksanaan Gastroesofageal Reflux Disease (GERD). Divisi
Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol.
38 no. 7 / November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi.
2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran
Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009.
Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis.PPDS
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November
2009.
0 komentar:
Posting Komentar