. PENGERTIAN APENDIKS
Apendiks atau
umbai cacing adalah suatu organ yang terdapat pada sekum yang terletak pada
proximal colon. Apendix dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix
vermiformis, ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis
reptil. Apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak
mempunyai fungsi tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai
organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobin (Ig-A)
walaupun dalam jumlah kecil.Apediks berisi makanan dan mengosongkan diri secara
teratur ke dalam sekum.Karena pengosongannya yang tidak efektif, dan lumennya
kecil, apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap
infeksi.
B.
DEFINISI APENDIKSITIS
Appendicitis adalah infeksi pada
appendiks karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan limfoid, dan
cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Erosi
membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba
histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis.
Apendisitis adalah obstruksi dari
usus buntu yang menyebabkan peradangan, ulserasi dan nekrosis. Jika nekrosis
menyebabkan usus buntu rupture, maka isis usus akan mengalir keruangan
peritoneal, selanjutnya menyebabkan peritonitis. Penyakit usus buntu sering
ditemukan pada pasien berusia antara 10-30 tahun bila terjadi pada usia lebih
tua dari itu, maka kemungkinannya bias sangat serius. (Charlene J. Reeves dkk.
2001)
Apendisitis adalah peradangan
apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut, fatogenesis
utamanya diduga karena adanya obstruksi lumen (feces keras yang terutama oleh
serat).Penyumbatan pengeluaran secret mucus menyebabkan terjadinya
pembengkakan, infeksi dan ulserasi. (Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson,
2005)
C.
ETIOLOGI
Apendisitis akut dapat disebabkan
oleh beberapa sebab terjadinya proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus diantaranya Hiperplasia jaringan limfe, fekalith,
tumor apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan
tahap awal dari kebanyakan penyakit ini. namun ada beberapa faktor yang
mempermudah terjadinya radang apendiks, diantaranya :
1.
Faktor sumbatan
Faktor
obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti
oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab
lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obsrtruksi yang
disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.
2.
Faktor Bakteri
Infeksi
enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut. Adanya
fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk dan memperberat
infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks, pada
kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah kuman
anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.
3.
Kecenderungan familiar
Hal
ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis.Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.
4.
Faktor ras dan diet
Faktor
ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-hari. Bangsa kulit
putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko lebih tinggi dari
Negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya
terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan
tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih
tinggi.
5.
Faktorinfeksisaluran pernapasan.
Setelah
mendapat penyakit saluran pernapasan akut terutama epidemi influenza dan
pneumonitis, jumlah kasus apendisitis ini meningkat.Namun, hati-hati karena
penyakit infeksi saluran pernapasan dapat menimbulkan seperti gejala permulaan
apendisitis.
D.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal yang khas, yang
merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di daerah
epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikus. Keluhan ini biasanya
disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu
makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan
bawah, ke titik Mc Burney. Di titik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Terkadang apendisitis juga
disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5 -38,5 derajat celcius.
Selain gejala klasik, ada beberapa
gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala
ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang.Berikut gejala yang timbul
tersebut.
1.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas
dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan
atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam,
batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor
yang menegang dari dorsal.
2.
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis
meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang
(diare).
3.
Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih,
dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga
sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada
waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi.Berikut
beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1.
Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan.Seringkali
anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan
terjadi muntah- muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi.Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.
2.
Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari
separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3.
Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang
gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses
ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada
wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri
perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada
kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan
bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan
E.
PATOFISIOLOGI
Apendiks terinflamasi dan mengalami
edema sebagai akibat terlipat atau tersumbat, kemungkinan oleh fekalit (massa
keras dari feces), tumor, atau benda asing. Proses inflamasi meningkatkan
tekanan intraluminal, menimbulkan nyeri abdomen atas atau menyebar hebat secara
progresif, dalam beberapa jam, terlokalisasi di kuadran kanan bawah dari
abdomen. Akhirnya, apendiks yang terinflamasi berisi pus (brunner&
suddarth, 1997).
Patologi apendisitis berawal di
jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks.
Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya.
Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum
menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah banyak dan kemudian
terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan
elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut,
tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks.
Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat,
sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri
terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan
terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding
apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis
berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan
usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan
menutup apendiks dengan omentum, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang
secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun,
jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler
akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Pada anak-anak, dengan omentum yang
lebih pendek, apendiks yang lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih
tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang, memudahkan terjadinya
perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena adanya
gangguan pembuluh darah.
Apendiks yang pernah meradang tidak
akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini
menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan
tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu
saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami
eksaserbasi.
F. PATHWAYS
G.
KOMPLIKASI
Komplikasi utama apendisitis adalah
perporasi apendiks, yang dapat dapat berkembng menjadi peritonotis atau abses.
Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Insident lebih tinggi pada anak kebil
dan lansia. Perforas terjadi secara umum 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala
mencakup demam 37,70 C atau lebih tinggi, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinue.
H.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hal yang dilakukan untuk mendiagnosa
apendisitis adalah pemeriksaan melalui anus.Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
fisik yang paling akhir dilakukan, karena kurang penting dibandingkan dengan
pemeriksaan abdomen.Dapat untuk menduga posisi apendiks yang meradang tersebut.
1.
Analisa urin
Test
ini bertujuan untuk meniadakan batu ureter dan untuk evaluasi kemungkinan dari
infeksi saluran kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
2.
Pengukuran enzim hati dan tingkatan amilase ini membantu
mendiagnosa peradangan hati, kandung empedu dan pancreas jika nyeri dilukiskan
pada perut bagian tengah bahkan kuadrant kanan atas.
3.
Pemeriksaan radiologi terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan
CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
I.
PENATALAKSANAAN
Bila dari hasil diagnosis positif
apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan
apendiktomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan
cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa
periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah
pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita.
Antibiotik ini merupakan antibiotik
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu
sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut,
yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan
sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata
tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Appendicitis adalah infeksi pada appendiks karena tersumbatnya
lumen oleh fekalith (batu feces),
hiperplasi jaringan limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan
penyebab utama appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi
karena parasit seperti Entamoeba histolytica,
Trichuris trichiura, dan
Enterobius vermikularis. Ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendiks, diantaranya : faktor
sumbatan, faktor bakteri,kecenderungan familiar, faktor ras dan diet, factor
infeksi saluran pernapasan.
Gejala apendisitis terkadang
tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya
apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru
diketahui setelah terjadi perforasi.
Komplikasi utama apendisitis adalah perporasi apendiks, yang dapat
dapat berkembng menjadi peritonotis atau abses. Insiden perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insident lebih tinggi pada anak kebil dan lansia. Perforas terjadi
secara umum 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam 37,70 C atau
lebih tinggi, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinue.
B.
SARAN
Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menambah pengetahuan para pembaca
mengenai apendisitis.
DAFTAR
PUSTAKA
Heller
Luz. 1991. Gawat Darurat Ginekologi Dan Obstetri. Penerbit EGC. Jakarta
Anderson
Price Sylvia,dkk. 1991. Patofisiologi Edisi 2 Bagian 4. Penerbit EGC. Jakarta
Scott,
James R. 2002. Buku saku Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Widya Medika.
Jakarta.
Saifuddin,
Abdul Bari, dkk. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.
Saifuddin,
Abdul Bari, dkk. 2008. Ilmu Kebidanan. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta.
Saifuddin,
Abdul Bari, dkk. 2004. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Penerbit Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar